8.10.10

Sa-ti-re

I Will Keep Moving #1
2010
Tommas Titus Kurniawan

I Will Keep Moving #2
2010
Tommas Titus Kurniawan

I Will Keep Moving #3
2010
Tommas Titus Kurniawan

I Will Keep Moving #4
2010
Tommas Titus Kurniawan

(Has been exhibited at the Galeri Bu Atie in 2010)
[NOTE: These exhibitions reported in Suara Merdeka, Monday: 21/03/2010 & Tuesday: 23/03/2010.] 



Kota: Imajinasi dan Pengalaman

Donny Danardono*]


Rumahku dari unggun-timbun sajak.
Di sini aku berbini dan beranak.
[Chairil Anwar]

Dua baris puisi Chairil Anwar—“Rumahku”—yang ditulis pada 1943 itu seakan berseloroh, bahwa ruang—baik berupa rumah atau kota—bukan melulu bangunan fisik. Banyak aspek ruang (rumah dan kota) yang acap kali mrucut dari kepastian cetak-biru arsitek, peta atau hukum. Sebab, saling-silang pengalaman dan imajinasi—yang tak putus-putusnya dibentuk oleh pertemuan dengan warga rumah, kota dan negara lain, dan bahkan oleh berbagai mitos, trauma dan harapan—juga turut membentuk rumah dan kota.
Maka, saat peta kota dan Peraturan Daerah Tata Ruang DKI tak berkenan menampilkan berbagai pemukiman “kumuh” di bantaran Sungai Ciliwung, kita justru dikejutkan oleh sejumlah warga bantaran sungai itu yang memelopori kehidupan ramah lingkungan. Mereka rajin memunguti sampah (terutama plastik), menanam tumbuhan tahan banjir dan memproduksi kompos. Berbagai pengalaman traumatik—banjir dan sebagai warga kota yang terpinggirkan—telah memunculkan mitos, harapan dan imajinasi tentang kehidupan yang lebih baik dan organik dengan lingkungan.
Cetak-biru arsitek, peta kota dan norma hukum tentang tata ruang kota tak mampu menampilkan pengalaman, mitos, harapan dan imajinasi seseorang atau gerombolan tentang ruang. Sebab mereka—seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad (“Dengan Flaneur dan Pelacur”, 2002)—hanya mampu menampilkan ruang dan waktu eksterior, yakni ruang dan waktu yang digeneralisasikan dan abstrak. Sebaliknya puisi dan sastra—dan tentunya berbagai karya seni lainnya—senantiasa menuturkan ruang dan waktu yang nyata dialami oleh seseorang atau, kembali mengutip Goenawan Mohamad, yang “ditentukan oleh dunia kecil seorang penghuni, dunia ‘interior’-ku, di momen ketika aku berdaulat”. Itulah yang dimaksud oleh Chairil dengan “rumahku dari unggun-timbun sajak”.

 Imajinasi dan Pengalaman Kota: “Beanstalk”
Berdasarkan paparan itu saya mengapresiasi karya-karya seni rupa Tommas Titus Kurniawan, Nassay Saputra dan Wisnu Baskoro—tiga perupa muda yang tergabung dalam kelompok seni “Beanstalk”. Pada 21-25 Maret 2010 mereka memamerkan karya fotografi, lukis dan mural bertema “Sa-Ti-Re” di Galeri Bu Atie, Jalan Borobudur Utara Raya 6, Semarang. Tubagus P. Svarajati membuka pameran ini pada 21 Maret 2010 jam 19.30.
Saya beranggapan, bahwa mereka—sebagai seniman dan warga Semarang—melalui ketiga bentuk karya itu berusaha menyatakan pengalaman dan imajinasi pribadi tentang kotanya. Mereka seakan menutur-ulang ucapan Chairil: “rumahku dari unggun-timbun sajak”.
Tommas Titus Kurniawan—fotografer kelahiran Lumajang yang kini bermukim di Semarang—rajin berkarya dan berpameran sejak 2007. Melalui rangkaian foto hitam putih bertema “I Will Keep Moving” ia menggambarkan seorang pria dengan roda tak berputar di punggungnya berdiri di batu karang menghadap ke laut. Roda yang mandeg itu seakan menjadi metafor kehidupan yang letih. Tapi mengapa laut? Kalau kita membaca berbagai karya ilmiah dan sastra Eropa abad 17 dan 18—sebelum pesawat terbang ditemukan—maka, kita tahu bagaimana laut ditampilkan sebagai metafor kehidupan avonturir yang penuh tantangan. Menariknya, Tommas tak “menceburkan” pria berroda di punggung itu ke laut, tapi melambungkannya. Kehidupan bermutu tak diimajinasikan di ruang laut, tapi di ruang udara. Inikah imajinasi warga kota Semarang abad 21 yang lebih dekat dengan pesawat terbang ketimbang kapal laut?
Sementara Nassay Saputra—pelukis yang rutin berpameran sejak 2004—melalui lukisan-lukisan cat minyak bertema “The Spirit for My Family” juga mau mendorong kehidupan yang lebih baik di Semarang. Sapuan kuasnya yang seperti goresan komikus dan memang komikal (jenaka) itu berusaha menampilkan kritik dan motivisi diri pada warga kota terhadap kehidupan yang bermutu. Lukisan kerbau-kerbau yang rebahan di padang rumput dan tersiram hangat sinar mentari itu adalah sindiran terhadap para seniman kota yang merasa tercukupi oleh gemah-ripahnya tanah air dan lupa membuat karya yang mampu mendorong kehidupan yang lebih baik. Sementara “Pangeran Dipanegara” dan “Warag-Ngendok” adalah lukisan metafor tentang harapan yang harus diraih secara keras.
Akhirnya Wisnu Baskoro—pelukis mural kelahiran Semarang dan  menganggap Yogyakarta sebagai kota keduanya—menampilkan lukisan mural bertema “Aku Kangen”. Lukisan itu menampilkan sejumlah artefak budaya Yogyakarta: pria berblangkon dan surjan, keraton, tugu kota, sepeda, becak, dokar, dan penari srimpi. Apakah ia merindukan Semarang menjadi kota budaya seperti Yogyakarta

Mengalami Kota
Jadi, melalui cetak-biru arsitek, peta dan ketentuan hukum tata ruang, seseorang akan mengalami ruang (rumah dan kota) dari atas atau luar. Ketiganya mengandaikan ketajaman mata seorang kartograf (juru peta) dalam memilah dan mengorganisasikan sebuah ruang. Mata yang berkemampuan panoptik—mengutip pendapat Michel Foucault di buku “Discipline and Punish” tentang desain penjara Panopticon Jeremy Bentham—demi menguasai sebuah ruang atau wilayah. Tapi justru karenanya—seperti yang saya sampaikan di atas—setiap cetak-biru, peta dan ketentuan hukum tata ruang harus menyingkirkan berbagai hal yang dianggap tak perlu dan yang ditabukan. Maka, bila kita mengamati ruang dari luar, kita akan berperilaku seperti kartograf dan perancang ruang, yaitu mereduksi ruang itu secara rasional-organisasi.
Ketiga bentuk seni rupa bertema “Sa-Ti-Re” ini jauh dari semangat kartografi. Ketiganya menampilkan yang partikular dari sebuah kota berdasarkan pengalaman pribadi senimannya. Dengan segenap aspek ketubuhannya (pancaindera) mereka menyusuri sebuah kota, mengalaminya dan kemudian menuangkannya dalam karya-karya seni rupa itu. Praktek strategis tubuh seperti ini senantiasa memporak-porandakan kepastian-rasional-organisasi sebuah cetak-biru, peta kota dan ketentuan hukum tata ruang kota. Sebab praktek penubuhan—seperti menyusuri kota atau menari—adalah sebuah kreatifitas, bukan sebuah praktek kepastian-rasional-organisasi. Ia seperti sajak Chairil yang membangun “rumahku dari unggun-timbun sajak”.


*] Ketua Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata, Semarang.

                                                                          Poster

first exhibition of BEANSTALK



Beanstalk | Facebook

 

Suara Merdeka Edisi Cetak

 



No comments: