13.10.10

Daegu Photo Biennale 2010

                                          "Soldier" artwork by Angki Purbandono

                                 "Soldier in flower" artwork by Angki Purbandono

(works ever exhibited in Fukuoka triennale 2010 and exhibited again in Daegu photo biennale 2010)

                        (from left) Me & Mr.Angki Purbandono in my solo exhibition

http://www.angkipu.com

홈

11.10.10

Jugun Ianfu

                                          (photo: Tommas titus kurniawan)

A visitors view the exhibition of photographs by Jan Banning titled Jugun Ianfu in Unika Soegijapranata Semarang. 11/10.

                                          (photo: Tommas titus kurniawan)

Hilde Janssen (exhibition text writer) gave a speech at the opening of a photo exhibition Jan Banning titled Jugun Ianfu at Unika Soegijapranata Semarang. 11/10.

Jan Banning

http://mcetak.suaramerdeka.com/PUBLICATIONS/SM/SM/2010/10/24/ArticleHtmls/Pasfoto-Jugun-Ianfu-24102010015003.shtml?Mode=1

9.10.10

Ilustration


Der Jäger Gracchus by: Tommas Titus Kurniawan                                         


Franz Kafka*

Dua anak laki-laki duduk di tembok dermaga dan bermain dadu. Seorang laki-laki membaca koran pada tangga monumen di bawah bayangan pahlawan yang sedang mengayunkan pedang. Seorang gadis di sumur mengisi air di tongnya. Seorang pedagang sayur laki-laki berebahan di samping dagangannya dan memandang ke arah danau. Dari dalam kafe orang mengintip lewat pintu- dan lubang jendela ada dua orang sedang minum anggur. Pemilik kafe itu duduk di depan pada sebuah meja dan tidur-tiduran. Sebuah tandu mengambang pelan, sepertinya sedang diangkut di atas air di sebuah pelabuhan kecil. Seorang lelaki mengenakan baju kerja warna biru turun dan menarik talinya lewat jeruji. Dua lelaki lain mengenakan mantel warna gelap yang berkancing perak memikul tandu di belakang pegawai perahu. Di bawah sana tergeletak dengan jelas seorang yang mengenakan kain sutera berenda bunga besar.

Di dermaga itu tak ada orang yang mengurus pendatang baru, sendirian saja ketika mereka menurunkan tandunya, sambil menunggu pegawai perahu, tali-tali masih dikerjakan, tak ada orang yang masuk, tak ada orang yang mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, tak seorang pun lebih memperhatikan mereka dengan saksama.

Pimpinan perahu sekarang menunjukkan dek perahu dengan leluasa melalui seorang perempuan, berambut terurai yang anaknya masih menindih dada. Kemudian datang lah dia dari sebuah rumah warna kuning tingkat dua, yang sedikit menanjak lurus dekat air, tukang pikul membawa beban dan mengangkatnya lewat tempat yang agak rendah, tapi lewat pintu bangunan pilar-pilar ramping. Seorang bocah kecil membuka jendela, langsung tahu, bagaimana rombongan itu menghilang di rumah, dan dengan cepat menutup lagi jendelanya. Pintunya sekarang juga tertutup, yang dibuat dari kayu eik hitam yang rapi. Sekelompok merpati telah terbang mengelilingi menara jam, sekarang hinggap di depan rumah. Ketika merpati-merpati itu akan mencari makanan, mereka itu berkumpul di depan pintu. Seekor terbang sampai ke lantai pertama dan mematuk kaca jendela. Itu merpati-merpati yang berwarna cerah, menarik, gesit. Dengan ayunan yang kuat, ibu itu melemparkan biji-bijian ke arah merpati-merpati, mereka berkerumun dan terbang melintasi ibu itu.

Seorang laki-laki mengenakan topi bundar dengan ikat simbol kesedihan menuruni lorong sempit yang penuh sampah menuju ke pelabuhan. Dia menoleh ke sana-kemari, semua dalam pantauannya, pandangannya tertuju pada sampah di pojok, wajahnya menjadi muram. Di tangga monumen tercecer kulit buah, sambil lewat dia menggaruk-garuk kulit buah itu ke bawah dengan tongkatnya. Di pintu ruang tamu, dia mengetuk sekaligus dia mengambil topi bundarnya dengan tangan kanan yang berkaus tangan hitam. Segera terbuka, lima puluh bocah laki-laki dengan riang berbaris dua-dua di gang dan membungkuk.

Pimpinan perahu menuruni tangga, menyalami orang laki-laki di situ, diajak naik ke lantai pertama , pimpinan perahu itu merasa ringan untuk bergaul dengan dia, pekarangan bangunan itu dikelilingi hiasan dan keduanya masuk, sementara bocah-bocah laki-laki dari kejauhan saling mendorong dengan penuh sopan. Di sebuah kamar besar yang dingin di belakang samping rumah, tampak di seberangnya tak ada rumah lagi, melainkan hanya sebuah ladang tandus dengan tembok batu karang hitam ke abu-abuan. Tukang pikul supaya kelihatan sibuk, menindih tandunya dengan beberapa lilin panjang dan dinyalakan, tapi tidak ada api, sesungguhnya dulu hanya bayang-bayang sepi yang seram dan berkedip-kedip di atas dinding. Dari tandu itu hanya dililit selendang. Di tandu itu berbaring seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot yang tumbuh liar tak beraturan, berkulit cokelat, seperti seorang pemburu. Dia tergeletak tak bergerak, sepertinya juga tak bernapas dan terpejam matanya, meski demikian hanya mengesankan di sekitarnya, bahwa itu mungkin sebuah mayat.

Orang laki-laki itu melangkah ke tandu, meletakkan tangannya ke dahi, kemudian berjongkok, dan berdoa. Pemimpin perahu memberi isyarat dengan tangan kepada tukang pikul, agar meninggalkan ruangan, mereka keluar menghalau bocah-bocah laki-laki, yang masih berkumpul di luar, dan menutup pintu. Orang laki-laki itu tampaknya juga tak diam sepenuhnya, dia memandang pemimpin perahu, menyadari dan pergi ke kamar sebelah lewat sebuah pintu samping. Orang yang tergeletak itu membentur tandu, matanya terbelalak, wajahnya berubah tertawa kecut kepada orang laki-laki di situ dan mengatakan: "Siapa kamu?" - Orang laki-laki yang sedang berlutut itu bangkit tanpa rasa heran dan menjawab: “Wali kota dari Riva."

Orang di tandu itu mengangguk, menampakkan kondisi lengannya yang lemah di kursi dan berkata, setelah memenuhi undangan wali kota: "Saya tahu, tuan wali kota, tapi awalnya sekejap saya selalu lupa semuanya, bagi saya semuanya terjadi sesuai urutan dan itu lebih baik, saya tanya, walau pun saya sudah tahu semuanya. Juga Anda mungkin sudah tahu, bahwa saya pemburu Gracchus."
"Tentu," kata wali kota. "Anda memberitahu saya malam hari ini. Kami tidur pulas. Di tengah malam istri saya memanggil: "Salvatore," -itu nama saya- "lihatlah merpati di jendela!" Itu benar-benar seekor merpati, tapi besar seperti seekor ayam. Merpati itu terbang ke telinga saya dan berbisik: "Besok datang seorang pemburu Gracchus yang sudah mati, sambutlah dia atas nama seluruh warga kota." Pemburu itu mengangguk dan menarik ujung lidahnya melalui di antara kedua bibirnya: "Ya, merpati-merpati itu sebelumnya terbang menghampiriku. Yakinkah Anda, tuan wali kota, bahwa saya harusnya tinggal di Riva?" "Saya belum bisa menjawabnya," jawab wali kota. "Anda sudah mati?" "Ya," kata pemburu, "seperti yang Anda lihat. Beberapa tahun lalu, tapi pastinya sudah bertahun-tahun, saya tergelincir dari sebuah batu wadas di Schwarzwald - itu di Jerman, ketika saya menguntit seekor kambing gunung. Sejak itu saya mati." "Tapi Anda masih hidup juga," kata wali kota.

"Boleh dikatakan begitu," kata pemburu, "agaknya saya juga hidup. Perahu yang mengantar kematian saya salah jalan, sebuah putaran yang salah pada setir navigasinya, sebuah ketidak hati-hatian dari pimpinan perahu, membelok ke arah alam kehidupan saya yang indah, saya tidak tahu, apa itu, yang saya ketahui, bahwa saya tinggal di bumi dan bahwa perahu saya sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya bepergian, yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati semua negara-negara di bumi. "Dan Anda tidak punya bagian di akhirat?" tanya wali kota dengan dahi mengkerut. “Saya,“ jawab pemburu, "selalu di tangga besar, menuju ke atas. Pada tangga yang luas tak terbatas itu saya berkeliling, kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke kanan, kadang ke kiri, selalu saja bergerak. Dari seorang pemburu berubah menjadi seekor kupu-kupu. Anda jangan tertawa." "Saya tidak tertawa," wali kota itu membatinnya saja. "Sangat bisa dimengerti," kata pemburu. "Saya selalu bergerak. Tapi saya melompat jauh dan di atas pintu saya tersorot, saya bangkit dari usia saya, sudah di dalam perahu air yang sunyi di suatu daratan. Kesalahan fatal kematian saya yang sekali itu, saya meringis di bilik perahu. Julia, istri pimpinan perahu mengetuk pintu dan membawakan saya minuman pagi negeri itu ke tandu saya, kami segera melayari ke pesisir itu. Saya berbaring di sebuah balai-balai kayu, tapi saya tak merasa nyaman, memandang berlama-lama - sebuah pakaian mayat yang kotor, rambut, jenggot, abu-abu dan hitam, tak bisa dibereskan berantakan, paha-paha saya ditutupi dengan selendang perempuan panjang berhiaskan bunga sutera besar. Di depan kepala saya terletak sebuah lilin gereja dan menyala ke arah saya. Di dinding seberang saya terdapat sebuah foto kecil, jelas seorang dari semak belukar, yang memegang tombak mengarah ke saya dan kemungkinan di belakang ditutup dengan plang bergambar menakjubkan. Orang yang bertemu di perahu kadang menggambarkan hal yang tolol, tapi ini adalah yang paling tolol. Kalau tidak, keranjang kayu saya ini akan sama sekali kosong. Lewat sebuah lubang di sisi dinding mengalir udara malam yang panas dari arah selatan, dan saya dengar air mengombang-ambingkan tandu tua. Di sini lah saya tinggal sejak dulu, ketika saya masih hidup menjadi pemburu Gracchus, di rumah di Schwarzwald saya menguntit kambing gunung dan terperosok. Semuanya kembali normal lagi. Saya membuntuti, saya jatuh, mati kehabisan darah di jurang dan tandu ini seharusnya membawa saya ke akhirat. Saya masih ingat, betapa senangnya saya di sini pertama kalinya terlentang di balai-balai. Tak pernah pegunungan ini mendengar nyanyian saya, seperti dulu empat dinding-dinding yang masih remang-remang.

Saya dulu senang hidup dan senang mati, saya terlempar bahagia, sebelum saya masuk di pinggir perahu, mengumpulkan kaleng-kaleng bekas, tas-tas, senjata pemburu di depan bawah saya, saya selalu bangga memakainya, dan menyelinap di pakaian mayat, bagaikan seorang gadis yang mengenakan pakaian perkawinan. Di sini saya berbaring dan menunggu. Dan terjadi musibah." "Sebuah nasib yang malang," kata wali kota menampik dengan mengangkat tangan. "Dan Anda tak merasa bersalah?" "Tidak," kata pemburu itu, "saya pemburu, apakah itu sebuah kesalahan? Sudah ditakdirkan saya sebagai pemburu di Schwarzwald, dimana dulu masih terdapat serigala. Saya bersembunyi untuk mengintai, menembak, bertatapan, diambil kulitnya, apakah itu salah? Pekerjaan saya telah direstui. `Pemburu terbesar di Schwarzwald adalah saya.` Apakah itu sebuah kesalahan?"

"Saya tak punya tugas untuk memutuskan hal itu," kata wali kota, "toh juga tak terdapat kesalahan pada saya. Tapi siapa yang bersalah?"
"Orang di perahu," kata pemburu. "Tak pernah dibaca orang, apa yang saya tulis, tak pernah ada orang datang, membantu saya; sebenarnya menurut hukum ada orang yang membantu saya, semua pintu rumah terkunci, semua jendela tertutup, semua tertidur, selimutnya menutup kepala, sebuah pondokan malam di seluruh bumi. Itu hal yang baik, sehingga tak seorang pun tahu tentang saya, mengertikah dia dari saya, sehingga dia tak mengerti dimana persinggahan saya, dan tahukah dia persinggahan saya, tahukan dia, bila saya tak menetap lama di sana, tidak tahukah dia, bagaimana membantu saya. Pemikiran untuk membantu saya, adalah sebuah penyakit dan harus berbaring di tempat tidur untuk disembuhkan. Itu saya tahu dan juga tak perlu berteriak, meminta bantuan, bila saya sendiri sementara ini - tak berkuasa seperti saya, contoh langsung sekarang - sangat prihatin. Tapi cukup senang untuk mengusir pemikiran seperti itu, bila saya melihat sekeliling dan membayangkan saya, dimana saya berada - saya bisa menganggap gembira - sejak berabad-abad saya tinggal."
Luar biasa," kata wali kota, "luar biasa." “Dan sekarang Anda memperingatkan pada kita untuk tinggal di Riva?"
"Saya tak memperingatkan," kata pemburu tertawa dan sambil membenarkan ejekannya, tangannya ditaruh di lutut wali kota. "Saya di sini, saya tidak tahu lebih banyak, lebih dari itu saya tidak bisa lakukan. Perahu saya tanpa setir, perahu itu berjalan dengan kekuatan angin, yang bertiup pada bagian daerah terbawah kematian.“


^0O0^

Judul asli: Der Jäger Gracchus
Diterjemahkan: Sigit Susanto
Ilustrasi: Tommas Titus Kurniawan

http://membacakafka.blogspot.com/2010/09/pemburu-gracchus.html


 
Die Teppichweber von Kujan-Bulak ehren Lenin by: Tommas Titus Kurniawan


Bertolt Brecht:
Perajin Permadani dari Kujan-Bulak menyambut Lenin

                        1
Sering kali dipuja dan berlimpah
Kawan Lenin. Tegak mematung dan gambar menggantung
Kota-kota dinamai dia dan anak-anak pula
Dibicarakan dalam banyak bahasa
Ada pertemuan-pertemuan dan demonstrasi-demonstrasi
Dari Sanghai sampai Chicago, Lenin dipuja-puji
Begitulah, tapi untuk menyambutnya
perajin permadani dari Kujan-Bulak
kota kecil di Turki selatan

Dua puluh lembar permadani terpasang tiap malam
Penyakit demam bersarang dari mesin tenun yang miskin
Demam menjalar sampai ke stasiun kereta api
Terpenuhi nyamuk mengumbang, awan tebal,
Yang menaikkan rawa-rawa di belakang kuburan onta
Tapi kereta api, yang
tiap dua minggu mengangkut air dan asap, membawa
berita juga suatu hari,
bahwa hari penyambutan kawan Lenin sudah dekat,
dan rakyat Kujan-Bulak memutuskan,
permadani, rakyat miskin,
bahwa kawan Lenin juga ada di daerahnya
Dipasang patung setengah badan dari gips
Tapi uang dikumpulkan untuk biaya gips
Semua tampak tegak
Berjejal dari penyakit demam dan membayar
alat hitung yang menjengkelkan dengan tangan-tangan bersliweran
Dan Rotarmist Stepa Gamalew, yang
menonton dengan penuh perhatian,
Terlihat kesiapan, menyambut Lenin dan rasa gembira,
Tapi dia tampak juga berhati bimbang
Dan dia tiba-tiba membuat usulan,
Dengan uang itu untuk membeli minyak tanah penerang patung setengah badan
dan
Di rawa-rawa untuk menyiram di belakang kuburan onta,
dimana nyamuk berasal, yang
menimbulkan penyakit demam.
Sehingga, juga melawan penyakit demam di Kujan-Bulak, dan benar-benar
penyambutan yang mati, tapi
jangan lupa
Kawan Lenin.
Mereka memutuskan. Pada hari penyambutan
embernya yang benjol, diisi dengan minyak tanah hitam,
satu demi satu menyusul,
keluar dan menyiram rawa-rawa.

Gunakanlah, di saat menyambut Lenin, dan
sambutlah dia, pada saat mereka melakukan, dan telah
juga memahaminya.

                            2
Kami telah dengar, bagaimana rakyat dari Kujan-Bulak
Lenin disambut. Pada malam hari sekarang
Minyak tanah dibeli untuk disiramkan di atas rawa-rawa,
Berdiri seorang di dalam pertemuan, dan meminta
bahwa sebuah papan agar dipasang di stasiun kereta api
Dengan berita acara ini, meliputi
juga perubahan acara yang pasti dan menukar
Patung Lenin setengah badan dengan tong minyak tanah pemusnah demam.
Dan semua ini untuk menyambut Lenin.
Dan mereka juga masih melakukan
Dan menaruh papan.

Judul asli: Die Teppichweber von Kujan-Bulak ehren Lenin
Pembacaan puisi di atas dalam bahasa Jerman: 

http://www.youtube.com/watch?v=hyOxdpXwzWI


Diterjemahkan oleh: Sigit Susanto 
Ilustrasi oleh : Tommas Titus Kurniawan

Sa-ti-re II

Moeslim
2010
Tommas Titus Kurniawan

 
Rainy Tobaco
2010
Tommas Titus Kurniawan

The Death
2010
Tommas Titus Kurniawan

(Has been exhibited at the Indonesian-Dutch Cultural Center in 2010)

PUASA SENI RUPA

BERPUASA bagi kaum Muslim bukan cuma berpantang makan-minum sebulan penuh. Berpuasa juga bukan semacam ritualitas yang berulang belaka. Berpuasa adalah praksis transenden: suatu upaya mendekatkan manusia, yang profan, kepada Sang Pencipta Agung.

Ramadan adalah bulan saat umat Muslim berpasrah diri dan menangis haru-girang atas segenap karunia-Nya. Karena itu, bulan berpuasa yang suci ini disyukuri oleh kaum Muslim dengan melakukan hal-hal berguna nan positif.

Akan tetapi, bukan tidak menyukuri rida-Nya bila tiga seni rupawan muda—tergabung dalam komunitas Beanstalk—melansir wacana kritis atas situasi “puasa hari ini”. Tommas Titus Kurniawan, Nasay Saputra, dan Aris Yaitu berpameran di Widya Mitra, Jalan Singosari II/12, Semarang, pada 28 Agustus—6 September 2010. Pameran bertajuk “Sa-ti-re 2” itu dibuka pada Sabtu (28/8) malam.

Pameran kelompok ini lanjutan dari “Sa-ti-re”—diadakan di Galeri Bu Atie, Maret lalu. Saat itu Beanstalk terdiri dari Tommas, Nasay, dan Wisnu Baskoro. Di tengah jalan Aris bergabung. Belakangan jejak kreatif Wisnu tak jelas dan dia, lantas, undur diri dari praksis kesenirupaan.

Refleksi Kritis
Tiga sekawan itu mengkritisi kebebasan, kemerdekaan dan isu-isu terkini sesuai minat dan cara masing-masing. Tulis mereka dalam selebaran pameran, “Tentu 'Puasa Hari Ini” tidaklah mudah untuk dijalani di tengah maraknya kepentingan-kepentingan tersembunyi yang membuat masyarakat semakin terbungkam dalam ketidakadilan.”

Bagi mereka, kekritisan itu diperlukan sebagai refleksi di bulan Agustus tatkala bangsa Indonesia memperingati kemerdekaannya. Namun mereka sadar bahwa “masyarakat sulit bersuara lantang karena (di) bulan puasa mengharuskan umat-Nya mengendalikan segala emosi.”

Walhasil, menyimak pernyataan mereka, ada tiga pokok soal (subject matter) sentral yang disoroti, yakni isu-isu kemasyarakatan terkini, dialektika kemerdekaan bangsa Indonesia, dan diskursus religiositas. Ketiga topik itu diekspresikan dalam karya foto, komik, instalasi, video, dan gambar (drawing).

Nasay—alumnus Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang—menciptakan superhero “Kompor mBledhak”. Tokoh itu bertubuh tambun dan berkepala tangki gas 3-kiloan keluaran Pertamina. Tampangnya sangar: alis hitam melengkung, mata mendelik, mulut menyeringai. Ironinya, sang “pahlawan” justru menebar teror: membakar banyak rumah, mencelakakan rakyat kebanyakan. Kisah getir ini ditampilkan dalam serial komik.

Selain serial komik, Nasay menggambar panel-panel mandiri yang menyoroti isu-isu hangat. Malaysia digambarkan sebagai “raja perompak”: sosok kartun buatan Malaysia “Upin” dan “Ipin” sedang naik perahu. Ada juga citraan raja-ratu lombok sebagai perumpamaan harganya yang melambung tak terkendali baru-baru ini.

Isu kebebasan-kemerdekaan digarap dengan taktis oleh Aris. Dia memvisualisasikan “presiden lebay” itu sebagai sosok berjubah-bersorban sedang mengangkat kedua tangannya. Adakah gambar ini metafor menyerahnya supremasi negara pada kekerasan simbolik atas nama keagamaan tertentu?

Satu-satunya instalasi—gubahan Aris—ialah “Tiga Jajaka”: tiga sisi kardus bekas pembungkus kulkas dilobangi serupa sosok tiga lelaki. Kardus dibaluri cat putih. Lampu kecil merah menggantung di sebaliknya. Dimensinya, lebar dan tinggi berkisar 120—180 cm. Ini karya apropriasi atas fenomena patung “Tiga Mojang”—kreasi I Nyoman Nuarta—yang dibongkar paksa di suatu kompleks perumahan di Bekasi. Bahan dan tematik “Tiga Jajaka” santir rapuhnya karya seni oleh arogansi dan banalitas tafsir sekelompok penganut kepercayaan garis keras.

Aris juga menyoroti nasionalisme Indonesia. Ada gambar burung garuda—kedua sayapnya tak mengepak—terlihat gontai-lunglai tanpa semangat. Secara umum karya-karya gambar Aris—dia lama bekerja di Rumah Seni Yaitu Semarang—berupa metafor bertingkat: visualitasnya senantiasa berdaya-ungkap mejemuk dan tak linear.

Dan ruang pamer itu—garasi yang beralih fungsi (sic!)—dimeriahkan oleh karya foto Tommas. Anak muda ini—sedang kuliah hukum di FH Universitas Diponegoro Semarang—konsisten dan kian matang dengan pilihan media ungkap fotografi.

Empat dari lima fotonya hasil pemindaian (scanning) objek kaleng bir dan mainan anak (toys). Ini semacam pemetaan sikap pro-kontra publik atas suatu realitas yang disigi berdasar syariat tertentu. Teknik tersebut dinamai scannography dan dikenalkan oleh Angki Purbandono—pentolan komunitas Ruang Mes56 Yogyakarta. Proses pemindaian itu direkam dan ditayangkan juga di ruang pamer.

Beanstalk dan Yang Lain
Hanya dalam tempo lima bulan Beanstalk menggelar dua pameran. Fakta ini pantas dihargai di saat lesunya praktik produksi atau eksposisi seni visual di Semarang belakangan ini. Padahal, beberapa tahun silam, pernah serentak dalam semalam di kota ini ada tiga perhelatan seni visual.

Sampai Agustus ini memang ada saja tercatat pameran foto, poster, zine, lukisan, di beberapa tempat, seperti di Galeri Bu Atie, Galeri Semarang, GrobagArt, Toko Buku Togamas, Taman Budaya Raden Saleh, Museum Ronggowarsito dan di mal atau kafe. Kegiatan itu, antara lain, diinisiasi oleh komunitas Hysteria, Outsiders, dan beberapa seni rupawan individual atau kelompok dadakan.

Menariknya, satu dua kelompok anak muda Semarang meraih atribusi “nasional” atas perannya selama ini—mereka: Hysteria (lebih dikenal sebagai komunitas sastra) dan Byar Creative Industry. Beberapa seni rupawan pun mulai mendapat cukup atensi dari pasar seni rupa Tanah Air, terutama pasar seni primer. Sebaliknya, tak kurang-kurangnya komunitas atau (calon) seniman berbakat tumbuh dan lalu bertumbangan.

Dahulu performa kelompok Importal cukup menjanjikan, namun kini bercerai-berai. Akan halnya Outisiders—anggotanya terutama dari kalangan pemusik cadas dan indie—menyimpan potensi besar. Tentu saja kepercayaan diri mesti dilecut lagi dan gagasan, strategi, serta pengetahuan estetik pantas ditinggikan pula.

Barangkali segenap pemangku kepentingan kreatif kota mesti menata ulang strategi dan pertumbuhan kesenirupaan Semarang. Untuk itu, jika benar, adanya agenda seni besar dalam waktu dekat patut disyukuri. Harus diwaspadai, sesuai pengalaman, iklim panas kota pesisir ini mudah memanggang relasi horisontal para pekerja seninya.

Jika ada pilihan, sebaiknya menggerakkan nadi kesenian secara laten dan dalam skala-format terukur ketimbang menginisiasi kegiatan besar cuma sekali lalu terkubur sudah. Hindarkan seni visual Semarang berpuasa lama.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[NOTE: This essay was published in Suara Merdeka, Sunday: 05/09/2010.]


PUASA SENI RUPA


                                                         Poster



 

8.10.10

Sa-ti-re

I Will Keep Moving #1
2010
Tommas Titus Kurniawan

I Will Keep Moving #2
2010
Tommas Titus Kurniawan

I Will Keep Moving #3
2010
Tommas Titus Kurniawan

I Will Keep Moving #4
2010
Tommas Titus Kurniawan

(Has been exhibited at the Galeri Bu Atie in 2010)
[NOTE: These exhibitions reported in Suara Merdeka, Monday: 21/03/2010 & Tuesday: 23/03/2010.] 



Kota: Imajinasi dan Pengalaman

Donny Danardono*]


Rumahku dari unggun-timbun sajak.
Di sini aku berbini dan beranak.
[Chairil Anwar]

Dua baris puisi Chairil Anwar—“Rumahku”—yang ditulis pada 1943 itu seakan berseloroh, bahwa ruang—baik berupa rumah atau kota—bukan melulu bangunan fisik. Banyak aspek ruang (rumah dan kota) yang acap kali mrucut dari kepastian cetak-biru arsitek, peta atau hukum. Sebab, saling-silang pengalaman dan imajinasi—yang tak putus-putusnya dibentuk oleh pertemuan dengan warga rumah, kota dan negara lain, dan bahkan oleh berbagai mitos, trauma dan harapan—juga turut membentuk rumah dan kota.
Maka, saat peta kota dan Peraturan Daerah Tata Ruang DKI tak berkenan menampilkan berbagai pemukiman “kumuh” di bantaran Sungai Ciliwung, kita justru dikejutkan oleh sejumlah warga bantaran sungai itu yang memelopori kehidupan ramah lingkungan. Mereka rajin memunguti sampah (terutama plastik), menanam tumbuhan tahan banjir dan memproduksi kompos. Berbagai pengalaman traumatik—banjir dan sebagai warga kota yang terpinggirkan—telah memunculkan mitos, harapan dan imajinasi tentang kehidupan yang lebih baik dan organik dengan lingkungan.
Cetak-biru arsitek, peta kota dan norma hukum tentang tata ruang kota tak mampu menampilkan pengalaman, mitos, harapan dan imajinasi seseorang atau gerombolan tentang ruang. Sebab mereka—seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad (“Dengan Flaneur dan Pelacur”, 2002)—hanya mampu menampilkan ruang dan waktu eksterior, yakni ruang dan waktu yang digeneralisasikan dan abstrak. Sebaliknya puisi dan sastra—dan tentunya berbagai karya seni lainnya—senantiasa menuturkan ruang dan waktu yang nyata dialami oleh seseorang atau, kembali mengutip Goenawan Mohamad, yang “ditentukan oleh dunia kecil seorang penghuni, dunia ‘interior’-ku, di momen ketika aku berdaulat”. Itulah yang dimaksud oleh Chairil dengan “rumahku dari unggun-timbun sajak”.

 Imajinasi dan Pengalaman Kota: “Beanstalk”
Berdasarkan paparan itu saya mengapresiasi karya-karya seni rupa Tommas Titus Kurniawan, Nassay Saputra dan Wisnu Baskoro—tiga perupa muda yang tergabung dalam kelompok seni “Beanstalk”. Pada 21-25 Maret 2010 mereka memamerkan karya fotografi, lukis dan mural bertema “Sa-Ti-Re” di Galeri Bu Atie, Jalan Borobudur Utara Raya 6, Semarang. Tubagus P. Svarajati membuka pameran ini pada 21 Maret 2010 jam 19.30.
Saya beranggapan, bahwa mereka—sebagai seniman dan warga Semarang—melalui ketiga bentuk karya itu berusaha menyatakan pengalaman dan imajinasi pribadi tentang kotanya. Mereka seakan menutur-ulang ucapan Chairil: “rumahku dari unggun-timbun sajak”.
Tommas Titus Kurniawan—fotografer kelahiran Lumajang yang kini bermukim di Semarang—rajin berkarya dan berpameran sejak 2007. Melalui rangkaian foto hitam putih bertema “I Will Keep Moving” ia menggambarkan seorang pria dengan roda tak berputar di punggungnya berdiri di batu karang menghadap ke laut. Roda yang mandeg itu seakan menjadi metafor kehidupan yang letih. Tapi mengapa laut? Kalau kita membaca berbagai karya ilmiah dan sastra Eropa abad 17 dan 18—sebelum pesawat terbang ditemukan—maka, kita tahu bagaimana laut ditampilkan sebagai metafor kehidupan avonturir yang penuh tantangan. Menariknya, Tommas tak “menceburkan” pria berroda di punggung itu ke laut, tapi melambungkannya. Kehidupan bermutu tak diimajinasikan di ruang laut, tapi di ruang udara. Inikah imajinasi warga kota Semarang abad 21 yang lebih dekat dengan pesawat terbang ketimbang kapal laut?
Sementara Nassay Saputra—pelukis yang rutin berpameran sejak 2004—melalui lukisan-lukisan cat minyak bertema “The Spirit for My Family” juga mau mendorong kehidupan yang lebih baik di Semarang. Sapuan kuasnya yang seperti goresan komikus dan memang komikal (jenaka) itu berusaha menampilkan kritik dan motivisi diri pada warga kota terhadap kehidupan yang bermutu. Lukisan kerbau-kerbau yang rebahan di padang rumput dan tersiram hangat sinar mentari itu adalah sindiran terhadap para seniman kota yang merasa tercukupi oleh gemah-ripahnya tanah air dan lupa membuat karya yang mampu mendorong kehidupan yang lebih baik. Sementara “Pangeran Dipanegara” dan “Warag-Ngendok” adalah lukisan metafor tentang harapan yang harus diraih secara keras.
Akhirnya Wisnu Baskoro—pelukis mural kelahiran Semarang dan  menganggap Yogyakarta sebagai kota keduanya—menampilkan lukisan mural bertema “Aku Kangen”. Lukisan itu menampilkan sejumlah artefak budaya Yogyakarta: pria berblangkon dan surjan, keraton, tugu kota, sepeda, becak, dokar, dan penari srimpi. Apakah ia merindukan Semarang menjadi kota budaya seperti Yogyakarta

Mengalami Kota
Jadi, melalui cetak-biru arsitek, peta dan ketentuan hukum tata ruang, seseorang akan mengalami ruang (rumah dan kota) dari atas atau luar. Ketiganya mengandaikan ketajaman mata seorang kartograf (juru peta) dalam memilah dan mengorganisasikan sebuah ruang. Mata yang berkemampuan panoptik—mengutip pendapat Michel Foucault di buku “Discipline and Punish” tentang desain penjara Panopticon Jeremy Bentham—demi menguasai sebuah ruang atau wilayah. Tapi justru karenanya—seperti yang saya sampaikan di atas—setiap cetak-biru, peta dan ketentuan hukum tata ruang harus menyingkirkan berbagai hal yang dianggap tak perlu dan yang ditabukan. Maka, bila kita mengamati ruang dari luar, kita akan berperilaku seperti kartograf dan perancang ruang, yaitu mereduksi ruang itu secara rasional-organisasi.
Ketiga bentuk seni rupa bertema “Sa-Ti-Re” ini jauh dari semangat kartografi. Ketiganya menampilkan yang partikular dari sebuah kota berdasarkan pengalaman pribadi senimannya. Dengan segenap aspek ketubuhannya (pancaindera) mereka menyusuri sebuah kota, mengalaminya dan kemudian menuangkannya dalam karya-karya seni rupa itu. Praktek strategis tubuh seperti ini senantiasa memporak-porandakan kepastian-rasional-organisasi sebuah cetak-biru, peta kota dan ketentuan hukum tata ruang kota. Sebab praktek penubuhan—seperti menyusuri kota atau menari—adalah sebuah kreatifitas, bukan sebuah praktek kepastian-rasional-organisasi. Ia seperti sajak Chairil yang membangun “rumahku dari unggun-timbun sajak”.


*] Ketua Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata, Semarang.

                                                                          Poster

first exhibition of BEANSTALK



Beanstalk | Facebook

 

Suara Merdeka Edisi Cetak

 



ARTernative PHOTOfest

Gedangan Church (pinhole camera)
2009
Tommas Titus Kurniawan


KB Garden (pinhole camera)
2009
Tommas Titus Kurniawan

(Has been exhibited at the Festival Market in 2009)

ARTernatif Photography Exhibition featuring the works of : 
Kassian Chephas, IPPHOS, serta: Agus Leonardus, Johnny Hendarta, Aendra Medita, Arif Budiman (Ayip Matamera), Adhya Ranadireksa, Andar Manik, Angki & Mess 56, Anton Ismael & Kelas Pagi Anto Ismael, Artli Ali (APPI), Bagio (FPSI), Bahtiar Dwi Susanto, Brigade Foto, Davy Linggar, Darius Manihuruk, Darwis Triadi (DTS), Didi, Dorodjatun Kuntjorojakti, Don Hasman, Doni Rachmansyah, Edi Purnomo, Edial Rusli, Evelyn Pritt, Fendi Siregar (IKJ), Fawzy & Kota-Kita 5 GFJA, Ferry Ardianto, Firman Ichsan (IKJ), Gerard Adhi, Harlim Lim, Harry Pochang – Krisna Trisila Satmoko & Forum Fotografi Bandung, Heret Frastio, Herman Firdaus, Inong Lubis, Jasmani, Julian Sihombing (Kompas), Lans Brahmantyo, Mahenk (Devian Art), Nico Darmajungen, Sjaiful Boen, Oscar Motuloh (GFJA), Paul Kadarisman, Priadi Sofyanto, Pingky Miror, Ray Bachtiar D (KLJI), Rio Helmi, Risman Marah (ISI), Seno Gumira Ajidarma, Stefany & kelompok fotografer perempuan, Tiarma Sirait, Totok Parwoto, Warren Kiong, Rama Surya. 

                                                                    Poster

Menunggu

Waiting #1
2009
Tommas Titus Kurniawan

Waiting #2
2009
Tommas Titus Kurniawan

Waiting #3
2009
Tommas Titus Kurniawan

Unxious #1
2009
Tommas Titus Kurniawan

Unxious #2
2009
Tommas Titus Kurniawan


Worried #1
2009
Tommas Titus Kurniawan

Worried #2
2009
Tommas Titus Kurniawan

(Has been exhibited at the Umar Kayam Foundation in 2009)

                                                     Poster


Menunggu, Semangat yang Ambigu

Agak lama, atau barangkali sudah cukup lama, saya menyaksikan anak-anak muda Semarang memotret. Mereka tampak gesit, menenteng kamera canggih, serba mahal, dan terkesan sangat bergaya. Kendati begitu, tak ada garansi di antara kelimun akan lahir semangat yang menggebu, yang kontinu.

Tommas Titus Kurniawan pantas disebut mewakili mereka yang sedikit itu. Sekonyong-konyong ia hadir di beberapa tempat terpencil, termasuk di satu-dua kota kecil, memamerkan sejumlah fotonya. Ini gelagat anomali dikontraskan dengan kecenderungan terbesar anak muda yang mukim di Semarang.

Tentang semangat, jelas anak muda kelahiran Lumajang, Jawa Timur, itu pantas didukung. Justru pada ranah ini anak-anak muda penggemar fotografi, di Semarang, sering kelimpungan. Semangat saja nihil, apalagi menyoal praktiknya.

Dengan bersemangat, Tommas memotret. Hasratnya meletup, gairahnya terlecut: memotret, memotret terus. Dengan cara ini ia belajar. Ia belajar pula mematut gagasan, merancang tematika, menyusun elemen ruang-waktu, termasuk menawarkan nilai.

Dalam pameran ini, yang memaparkan foto-foto monokromatik, Tommas mengajak pemandang turut mengalami kondisi psikologis orang-orang yang sedang menunggu. Ini sesuatu aktivitas yang pasif, dalam senyap, sekaligus penuh kecamuk. Tak jelas bagaimana menerangkan dunia-dalam, subyektivitas mereka. Cuma terungkap, menunggu adalah pengalaman ontologis yang ambigu.

Setakat ini, dunia atau bagaimana realitas dialami pun terasa ambigu. Kita tak pernah paham benar tentang sesuatu yang nyata, yang riil, yang barangkali semua itu lekas terlampaui, melaju dalam halai-balai. Entah apa yang tercerap dari realitas semacam itu, apalagi di dalam selembar foto.

Akan halnya tentang sebuah semangat, yang bergelora, pada sisi sebaliknya, ia bisa gontai dan terkulai. Walhasil, semangat pun ambigu. Tentu punya semangat lebih baik.
Selamat berpameran.

Tubagus P. Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

Tattoography

Tattoo Artist #1
2009
Tommas Titus Kurniawan

Tattoo Artist #2
2009
Tommas Titus Kurniawan

Tattoo Artist #3
2009
Tommas Titus Kurniawan

Locksmith
2009
Tommas Titus Kurniawan

Musician
2009
Tommas Titus Kurniawan

Punker
2009
Tommas Titus Kurniawan

Scooterist
2009
Tommas Titus Kurniawan

(Has been exhibited at the Ours cafe in 2009)
[NOTE: These exhibitions reported in Kompas, Monday: 18/05/2009.]

                                                        Poster

AQUACULTURE 45