 Der Jäger Gracchus
Der Jäger Gracchus by: Tommas Titus Kurniawan                                          
Franz Kafka*
Dua anak laki-laki duduk  di tembok dermaga dan bermain dadu. Seorang laki-laki membaca koran pada  tangga monumen di bawah bayangan pahlawan yang sedang mengayunkan  pedang. Seorang gadis di sumur mengisi air di tongnya. Seorang pedagang  sayur laki-laki berebahan di samping dagangannya dan memandang ke arah  danau. Dari dalam kafe orang mengintip lewat pintu- dan lubang jendela  ada dua orang sedang minum anggur. Pemilik kafe itu duduk di depan pada  sebuah meja dan tidur-tiduran. Sebuah tandu mengambang pelan, sepertinya  sedang diangkut di atas air di sebuah pelabuhan kecil. Seorang lelaki  mengenakan baju kerja warna biru turun dan menarik talinya lewat jeruji.  Dua lelaki lain mengenakan mantel warna gelap yang berkancing perak  memikul tandu di belakang pegawai perahu. Di bawah sana tergeletak  dengan jelas seorang yang mengenakan kain sutera berenda bunga besar.
Di  dermaga itu tak ada orang yang mengurus pendatang baru, sendirian saja  ketika mereka menurunkan tandunya, sambil menunggu pegawai perahu,  tali-tali masih dikerjakan,  tak ada orang yang masuk, tak ada orang  yang mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, tak seorang pun lebih  memperhatikan mereka dengan saksama.
Pimpinan perahu  sekarang menunjukkan dek perahu dengan leluasa melalui seorang  perempuan, berambut terurai yang anaknya masih menindih dada. Kemudian  datang lah dia dari sebuah rumah warna kuning tingkat dua, yang sedikit  menanjak lurus dekat air, tukang pikul membawa beban dan mengangkatnya  lewat tempat yang agak rendah, tapi lewat pintu bangunan pilar-pilar  ramping. Seorang bocah kecil membuka jendela, langsung tahu, bagaimana  rombongan itu menghilang di rumah, dan dengan cepat menutup lagi  jendelanya. Pintunya sekarang juga tertutup, yang dibuat dari kayu eik  hitam yang rapi. Sekelompok merpati telah terbang mengelilingi menara  jam, sekarang hinggap di depan rumah. Ketika merpati-merpati itu akan  mencari makanan, mereka itu berkumpul di depan pintu. Seekor terbang  sampai ke lantai pertama dan mematuk kaca jendela. Itu merpati-merpati  yang berwarna cerah, menarik, gesit. Dengan ayunan yang kuat, ibu itu  melemparkan biji-bijian ke arah merpati-merpati, mereka berkerumun dan  terbang melintasi ibu itu.
Seorang laki-laki mengenakan  topi bundar dengan ikat simbol kesedihan menuruni lorong sempit yang  penuh sampah menuju ke pelabuhan. Dia menoleh ke sana-kemari, semua  dalam pantauannya, pandangannya tertuju pada sampah di pojok, wajahnya  menjadi muram. Di tangga monumen tercecer kulit buah, sambil lewat dia  menggaruk-garuk kulit buah itu ke bawah dengan tongkatnya. Di pintu  ruang tamu, dia mengetuk sekaligus dia mengambil topi bundarnya dengan  tangan kanan yang berkaus tangan hitam. Segera terbuka, lima puluh bocah  laki-laki dengan riang berbaris dua-dua di gang dan membungkuk.
Pimpinan  perahu menuruni tangga, menyalami orang laki-laki di situ, diajak naik  ke lantai pertama , pimpinan perahu itu merasa ringan untuk bergaul  dengan dia, pekarangan bangunan itu dikelilingi hiasan dan keduanya  masuk, sementara bocah-bocah laki-laki dari kejauhan saling mendorong  dengan penuh sopan. Di sebuah kamar besar yang dingin di belakang  samping rumah, tampak  di seberangnya tak ada rumah lagi, melainkan  hanya sebuah ladang tandus dengan tembok batu karang hitam ke abu-abuan.  Tukang pikul supaya kelihatan sibuk, menindih tandunya dengan beberapa  lilin panjang dan dinyalakan, tapi tidak ada api, sesungguhnya dulu  hanya bayang-bayang sepi yang seram dan berkedip-kedip di atas dinding.  Dari tandu itu hanya dililit selendang. Di tandu itu berbaring seorang  laki-laki dengan rambut dan jenggot yang tumbuh liar tak beraturan,  berkulit cokelat, seperti seorang pemburu. Dia tergeletak tak bergerak,  sepertinya juga tak bernapas dan terpejam matanya, meski demikian hanya  mengesankan di sekitarnya, bahwa itu mungkin sebuah mayat.
Orang  laki-laki itu melangkah ke tandu, meletakkan tangannya ke dahi,  kemudian berjongkok, dan berdoa. Pemimpin perahu memberi isyarat dengan  tangan kepada tukang pikul, agar meninggalkan ruangan, mereka keluar  menghalau bocah-bocah laki-laki, yang masih berkumpul di luar, dan  menutup pintu. Orang laki-laki itu tampaknya juga tak diam sepenuhnya,  dia memandang pemimpin perahu, menyadari dan pergi ke kamar sebelah  lewat sebuah pintu samping. Orang yang tergeletak itu membentur tandu,  matanya terbelalak, wajahnya berubah tertawa kecut kepada orang  laki-laki di situ dan mengatakan: "Siapa kamu?" - Orang laki-laki yang  sedang berlutut itu bangkit tanpa rasa heran dan menjawab: “Wali kota  dari Riva."
Orang di tandu itu mengangguk, menampakkan  kondisi lengannya yang lemah di kursi dan berkata, setelah memenuhi  undangan wali kota: "Saya tahu, tuan wali kota, tapi awalnya sekejap  saya selalu lupa semuanya, bagi saya semuanya terjadi sesuai urutan dan  itu lebih baik, saya tanya, walau pun saya sudah tahu semuanya. Juga  Anda mungkin sudah tahu, bahwa saya pemburu Gracchus."
"Tentu,"  kata wali kota. "Anda memberitahu saya malam hari ini. Kami tidur pulas.  Di tengah malam istri saya memanggil: "Salvatore," -itu nama saya-  "lihatlah merpati di jendela!" Itu benar-benar seekor merpati, tapi  besar seperti seekor ayam. Merpati itu terbang ke telinga saya dan  berbisik: "Besok datang seorang pemburu Gracchus yang sudah mati,  sambutlah dia atas nama seluruh warga kota." Pemburu itu mengangguk dan  menarik ujung lidahnya melalui di antara kedua bibirnya: "Ya,  merpati-merpati itu sebelumnya terbang menghampiriku. Yakinkah Anda,  tuan wali kota, bahwa saya harusnya tinggal di Riva?" "Saya belum bisa  menjawabnya," jawab wali kota. "Anda sudah mati?" "Ya," kata pemburu,  "seperti yang Anda lihat. Beberapa tahun lalu, tapi pastinya sudah  bertahun-tahun, saya tergelincir dari sebuah batu wadas di Schwarzwald -  itu di Jerman, ketika saya menguntit seekor kambing gunung. Sejak itu  saya mati." "Tapi Anda masih hidup juga," kata wali kota.
"Boleh  dikatakan begitu," kata pemburu, "agaknya saya juga hidup. Perahu yang  mengantar kematian saya salah jalan, sebuah putaran yang salah pada  setir navigasinya, sebuah ketidak hati-hatian dari pimpinan perahu,  membelok ke arah alam kehidupan saya yang indah, saya tidak tahu, apa  itu, yang saya ketahui, bahwa saya tinggal di bumi dan bahwa perahu saya  sejak itu telah berlayar di perairan duniawi. Begitulah saya bepergian,  yang hanya ingin hidup di pegunungan, setelah kematian saya melewati  semua negara-negara di bumi. "Dan Anda tidak punya bagian di akhirat?"  tanya wali kota dengan dahi mengkerut. “Saya,“ jawab pemburu, "selalu di  tangga besar, menuju ke atas. Pada tangga yang luas tak terbatas itu  saya berkeliling, kadang ke atas, kadang ke bawah, kadang ke kanan,  kadang ke kiri, selalu saja bergerak. Dari seorang pemburu berubah  menjadi seekor kupu-kupu. Anda jangan tertawa." "Saya tidak tertawa,"  wali kota itu membatinnya saja. "Sangat bisa dimengerti," kata pemburu.  "Saya selalu bergerak. Tapi saya melompat jauh dan di atas pintu saya  tersorot, saya bangkit dari usia saya, sudah di dalam perahu air yang  sunyi di suatu daratan. Kesalahan fatal kematian saya yang sekali itu,  saya meringis di bilik perahu. Julia, istri pimpinan perahu mengetuk  pintu dan membawakan saya minuman pagi negeri itu ke tandu saya, kami  segera melayari ke pesisir itu. Saya berbaring di sebuah balai-balai  kayu, tapi saya tak merasa nyaman, memandang berlama-lama - sebuah  pakaian mayat yang kotor, rambut, jenggot, abu-abu dan hitam, tak bisa  dibereskan berantakan, paha-paha saya ditutupi dengan selendang  perempuan panjang berhiaskan bunga sutera besar. Di depan kepala saya  terletak sebuah lilin gereja dan menyala ke arah saya. Di dinding  seberang saya terdapat sebuah foto kecil, jelas seorang dari semak  belukar, yang memegang tombak mengarah ke saya dan kemungkinan di  belakang ditutup dengan plang bergambar menakjubkan. Orang yang bertemu  di perahu kadang menggambarkan hal yang tolol, tapi ini adalah yang  paling tolol. Kalau tidak, keranjang kayu saya ini akan sama sekali  kosong. Lewat sebuah lubang di sisi dinding mengalir udara malam yang  panas dari arah selatan, dan saya dengar air mengombang-ambingkan tandu  tua. Di sini lah saya tinggal sejak dulu, ketika saya masih hidup  menjadi pemburu Gracchus, di rumah di Schwarzwald saya menguntit kambing  gunung dan terperosok. Semuanya kembali normal lagi. Saya membuntuti,  saya jatuh, mati kehabisan darah di jurang dan tandu ini seharusnya  membawa saya ke akhirat. Saya masih ingat, betapa senangnya saya di sini  pertama kalinya terlentang di balai-balai. Tak pernah pegunungan ini  mendengar nyanyian saya, seperti dulu empat dinding-dinding yang masih  remang-remang.
Saya dulu senang hidup dan senang mati,  saya terlempar bahagia, sebelum saya masuk di pinggir perahu,  mengumpulkan kaleng-kaleng bekas, tas-tas, senjata pemburu di depan  bawah saya, saya selalu bangga memakainya, dan menyelinap di pakaian  mayat, bagaikan seorang gadis yang mengenakan pakaian perkawinan. Di  sini saya berbaring dan menunggu. Dan terjadi musibah." "Sebuah nasib  yang malang," kata wali kota menampik dengan mengangkat tangan. "Dan  Anda tak merasa bersalah?" "Tidak," kata pemburu itu, "saya pemburu,  apakah itu sebuah kesalahan? Sudah ditakdirkan saya sebagai pemburu di  Schwarzwald, dimana dulu masih terdapat serigala. Saya bersembunyi untuk  mengintai, menembak, bertatapan, diambil kulitnya, apakah itu salah?  Pekerjaan saya telah direstui. `Pemburu terbesar di Schwarzwald adalah  saya.` Apakah itu sebuah kesalahan?"
"Saya tak punya tugas  untuk memutuskan hal itu," kata wali kota, "toh juga tak terdapat  kesalahan pada saya. Tapi siapa yang bersalah?"
"Orang di perahu,"  kata pemburu. "Tak pernah dibaca orang, apa yang saya tulis, tak pernah  ada orang datang, membantu saya; sebenarnya menurut hukum ada orang  yang membantu saya, semua pintu rumah terkunci, semua jendela tertutup,  semua tertidur, selimutnya menutup kepala, sebuah pondokan malam di  seluruh bumi. Itu hal yang baik, sehingga tak seorang pun tahu tentang  saya, mengertikah dia dari saya, sehingga dia tak mengerti dimana  persinggahan saya, dan tahukah dia persinggahan saya, tahukan dia, bila  saya tak menetap lama di sana, tidak tahukah dia, bagaimana membantu  saya. Pemikiran untuk membantu saya, adalah sebuah penyakit dan harus  berbaring di tempat tidur untuk disembuhkan. Itu saya tahu dan juga tak  perlu berteriak, meminta bantuan, bila saya sendiri sementara ini - tak  berkuasa seperti saya, contoh langsung sekarang - sangat prihatin. Tapi  cukup senang untuk mengusir pemikiran seperti itu, bila saya melihat  sekeliling dan membayangkan saya, dimana saya berada - saya bisa  menganggap gembira - sejak berabad-abad saya tinggal."
Luar  biasa," kata wali kota, "luar biasa." “Dan sekarang Anda memperingatkan  pada kita untuk tinggal di Riva?"
"Saya tak memperingatkan," kata  pemburu tertawa dan sambil membenarkan ejekannya, tangannya ditaruh di  lutut wali kota. "Saya di sini, saya tidak tahu lebih banyak, lebih dari  itu saya tidak bisa lakukan. Perahu saya tanpa setir, perahu itu  berjalan dengan kekuatan angin, yang bertiup pada bagian daerah terbawah  kematian.“
^0O0^
Judul asli: Der  Jäger Gracchus
Diterjemahkan: Sigit Susanto
Ilustrasi:  Tommas Titus Kurniawan
http://membacakafka.blogspot.com/2010/09/pemburu-gracchus.html 
 Die Teppichweber von Kujan-Bulak ehren  Lenin by: Tommas Titus Kurniawan
 
Die Teppichweber von Kujan-Bulak ehren  Lenin by: Tommas Titus Kurniawan
Bertolt Brecht:
Perajin Permadani dari Kujan-Bulak menyambut  Lenin
                          1
 Sering kali dipuja dan  berlimpah 
 Kawan Lenin. Tegak mematung dan gambar  menggantung
 Kota-kota dinamai dia dan anak-anak pula
 Dibicarakan dalam  banyak bahasa
 Ada pertemuan-pertemuan dan demonstrasi-demonstrasi
 Dari  Sanghai sampai Chicago, Lenin dipuja-puji
 Begitulah, tapi untuk  menyambutnya
 perajin permadani dari Kujan-Bulak
 kota kecil di Turki  selatan
 
 Dua puluh lembar permadani terpasang tiap malam
 Penyakit demam  bersarang dari mesin tenun yang miskin
 Demam menjalar sampai ke stasiun  kereta api
 Terpenuhi nyamuk mengumbang, awan tebal,
 Yang menaikkan  rawa-rawa di belakang kuburan onta
 Tapi kereta api, yang
 tiap dua minggu  mengangkut air dan asap, membawa
 berita juga suatu hari,
 bahwa hari  penyambutan kawan Lenin sudah dekat,
 dan rakyat Kujan-Bulak  memutuskan,
 permadani, rakyat miskin,
 bahwa kawan Lenin juga ada di  daerahnya
 Dipasang patung setengah badan dari gips
 Tapi uang dikumpulkan  untuk biaya gips
 Semua tampak tegak
 Berjejal dari penyakit demam dan  membayar
 alat hitung yang menjengkelkan dengan tangan-tangan  bersliweran
 Dan Rotarmist Stepa Gamalew, yang
 menonton dengan penuh  perhatian,
 Terlihat kesiapan, menyambut Lenin dan rasa gembira,
 Tapi dia  tampak juga berhati bimbang
 Dan dia tiba-tiba membuat usulan,
 Dengan uang  itu untuk membeli minyak tanah penerang patung setengah  badan
 dan
 Di  rawa-rawa untuk menyiram di belakang kuburan onta,
 dimana nyamuk berasal,  yang
 menimbulkan penyakit demam.
 Sehingga, juga melawan penyakit demam di  Kujan-Bulak, dan benar-benar
 penyambutan yang mati, tapi
 jangan  lupa
 Kawan Lenin.
 Mereka memutuskan. Pada hari penyambutan
 embernya  yang benjol, diisi dengan minyak tanah hitam,
 satu demi satu  menyusul,
 keluar dan menyiram rawa-rawa.
 
 Gunakanlah, di saat menyambut  Lenin, dan
 sambutlah dia, pada saat mereka melakukan, dan telah 
 juga  memahaminya.
 
                              2
 Kami telah dengar, bagaimana rakyat dari Kujan-Bulak
 Lenin disambut.  Pada malam hari sekarang
 Minyak tanah dibeli untuk disiramkan di atas  rawa-rawa,
 Berdiri seorang di dalam pertemuan, dan meminta
 bahwa sebuah  papan agar dipasang di stasiun kereta api
 Dengan berita acara ini,  meliputi
 juga perubahan acara yang pasti dan menukar 
 Patung Lenin  setengah badan dengan tong minyak tanah pemusnah demam.
 Dan semua ini untuk  menyambut Lenin.
 Dan mereka juga masih melakukan
 Dan menaruh  papan.
 
 Judul asli: Die Teppichweber von  Kujan-Bulak ehren  Lenin
 Pembacaan puisi di atas dalam bahasa  Jerman: 
 http://www.youtube.com/watch?v=hyOxdpXwzWI
 
 Diterjemahkan oleh: Sigit Susanto 
Ilustrasi oleh : Tommas Titus Kurniawan